Jum'at, 22/11/2024 16:54 WIB

Prof Didik Rachbini: Hukum Jadi Alat Politik Berisiko Wariskan Dendam Abadi

Meskipun pimpinan KPK membantah seribu kali dan sampai bibirnya robek sekali pun bahwa pemeriksaan Muhaimin murni hukum, rakyat yang melek politik tidak tidak akan pernah percaya tersebut.

Rektor Universitas Paramadina Jakarta Prof. Didik J. Rachbini, M.Sc., Ph.D. Foto: paramadina/jurnas

JAKARTA, Juras.com – Politik Indonesia gaduh dan semakin tidak mudah ditebak karena samar dan sangat tersembunyi di balik taktik pimpinan politik partai dan penguasa.

Setelah Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar menyeberang ke kubu NasDem atau Koalisi  perubahan, KPK langsung turun gunung untuk memeriksanya.

Tindakan hukum berimpit dengan proses politik sehingga tidak bebas dari persepsi bahwa ini adalah tindakan politik di ranah hukum atau hukum dipakai sebagai alat politik.

Rektor Universitas Paramadina Jakarta Prof. Didik J. Rachbini menyatakan pada Kamis (7/9/2023), cara berpolitik brutal seperti ini dengan menjadikan hukum sebagai alat politiknya, akan merusak demokrasi yang kemudian mewariskan risiko dendam dan perkelahian politik secara terus menerus.

“Jika regim berganti baru, maka regim baru yang berbeda pandangan akan siap mengambil tindakan balas dendam.  Setiap pergantian rejim akan selalu ada dendam dan balas dendam yang merusak demokrasi. Ini terjadi karena hukum dan keadilan dirusak oleh kekuasaan politik,” kata Prof. Didik.

Menurut Prof. Didik, biasanya penguasa yang otoriter selalu menjadikan hukum sebagai alat politik untuk meredam lawan-lawannya. “Jika kita membiarkan ini terus berlalu, maka sama saja dengan membiarkan penguasa otoriter memperkuat dirinya dengan melemahkan hukum,” ujarnya.

Pertanyaannya, ujar Prof Didik, ketika proses hukum berimpit dengan proses politik, apakah langkah KPK ini bermuatan politik? “KPK sendiripasti akan menjawab ini proses hukum,” katanya.

Prof. Didik menegaskan, meskipun pimpinan KPK membantah seribu kali dan sampai bibirnya robek sekali pun bahwa pemeriksaan Muhaimin murni hukum, rakyat yang melek politik tidak tidak akan pernah percaya tersebut. Hanya rakyat yang naif atau mungkin bodoh yang percaya bahwa pemeriksaan itu tidak berhubungan dengan politik.

“Inilah kesimpulan dari langkah KPK sekarang ini dan terkait dengan rententan langkah dan proses yang terjadi bertahun-tahun sebelumnya setelah KPK dikerdilkan sedemikian rupa secara politik oleh kekuasaan,” kata Prof. Didik.

Dari historis perilaku pimpinan KPK selama ini, lanjutnya, ada indikasi kuat jawaban tersebut adalah kebohongan yang vulgar. KPK diindikasikan masuk ke dalam wilayah haram ranah politik praktis, yang implikasi politik regim selanjutnya akan vulgar juga memanfaatkan KPK sebagai alat politik.

Dengan langkah vulgar plus historis yang lebih vulgar juga, selanjutnya KPK benar-benar menjadi alat politik penguasa. KPK sudah menjadi subordinat penguasa dalamhal ini pemerintah, yang bisa dengan mudah dijadikan alat kepentingan politik.

Hal itu bermula dari amandemen UU KPK, yang ditentang masyarakat luas dan mahasiswa di seluruh Indonesia. Bahkan secara ekspresif mahasiswa melakukan demonstrasi yang masif secara nasional untuk menentang amandemen UU KPK tersebut.  Bahkan sudah terjadi korban meninggal tetapi regim ini terus melakukan pelemahan KPK, yang menjadi alat penguasa pada saat ini.

Peristiwa ini menurut Prof. Didik, tidak berdiri sendiri.  Arus politik bawah tanah berkelindan sangat kuat dengan hukum dan arus itu mengendalikan banyak hal termasuk hukum dan politik praktis sekaligus pada masa menjelang pilpres dan pileg. Di dalam politik, para aktornya bisa berperan sebagai aktor baik dan sekaligus aktor jahat secara bersamaan. Aktor jahat yang mengendalikan permainan di titik panas dan kritis seperti sekarang ini dan bisa melabrak hukum yang menjadikan sebagai alatnya.

“Apa yang tersirat dan tersurat dari kejadian ini?” ujar Prof. Didik.

Menurutnya, calon pemimpin dalam politik dan demokrasi liberal dan terbuka seperti sekarang mesti benar-benar bersih.  Jika tidak,maka kasus hukumnya pasti menjadi makanan empuk politik praktis dan publik.  Ini sudah pasti menjadi syarat bagi elit pemimpin yang jumlahnya sedikit. Dari 280 juta penduduk seharusnya muncul sedikit figur pemimpin terseleksi, yang tanpa cacat atau paling sedikit cacatnya. 

“Begitula sejatinya proses demokrasi yang harus dijalankan untuk memilih pemimpin yang bersih,”u ujarnya.

Langkah maju dan sekaligus pilihan figur tidak bersih di gelanggang politik terbuka, menurut Prof. Didik, adalah kesalahan fatal. Kelemahannya akan menjadi makanan kampanye negatif di dalam pilpres nanti dan sekarang sudah dihadang kasus hukum, yang legal absah tanpa melihat aspek cawe-cawe politik di dalamnya.

Kalau calon pemimpin tidak bersih, maka pemimpin politik yang tampil akan menjadi pesakitan atau pasien "rawat jalan", yang setiap saat bisa dijebloskan kamar darurat menjadi pasien "rawatinap".

Demokrasi menjadi ketoprak atau drama telenovela seperti yang terlihat sekarang.  Aktor kuat yang berada di balik layar dapat dengan mudah mengendalikan politisi-politisi pesakitan, yang menjadi "pasien rawat jalan" dan bisa setiap saat masuk kamar rawat darurat.

Muhaimin Iskandar dalam drama politik ini sangat lemah sehingga mudah masuk kerangkeng dan tidak bisa berkiprah lagi di dalam kancah politik yang terbuka dan cukup brutal ini.  Jadi calon pemimpin bagaimana pun keadaannya memang harus betul-betul bersih karena 280 juta rakyat atau setidaknya 200 juta pemilik menempatkannya pada titik panas atau hotspot,” kata Prof. Didik.

KEYWORD :

KPK Didik Rachbini Paramadina Muhaimin Iskandar Hukum




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :